Text
Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
Buku berjudul “Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan” ini merupakan edisi revisi dari buku sebelumnya yang terbit pada 2002. Secara substantif buku ini memiliki banyak keunggulan sebagai buku pedoman untuk memahami hukum kepailitan secara komprehensif, baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Muatan buku ini meliputi hukum dalam teori dan hukum dalam praktek.rnDikatakan pembahasan hukum kepailitan dalam teori, karena buku ini memaparkan secara rinci 3 Undang-Undang Kepailitan yang pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia, yaitu Faillisementsverordening, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Secara teori, hal yang berbeda dengan buku-buku kepailitan pada umumnya yang biasanya lebih menekankan kepada pembahasan Undang-Undang semata, buku ini memaparkan sejarah hukum kepailitan di berbagai negara, tujuan, asas-asas hukum kepailitan, dan tentunya semua hal yang terkait dengan kepailitan.rnSejarah hukum kepailitan dapat ditelusuri sampai ke hukum Romawi di tahun 118 Sebelum Masehi. Perkembangan hukum kepailitan pada awalnya sangat berpihak terhadap kepentingan kreditor, sehingga seringkali mengabaikan perlindungan terhadap debitor. Pada perkembangan berikutnya terlihat pergeseran perlindungan kepada debitor atau dapat dikatakan sebagai hukum kepailitan modern. Pada tahap perkembangan ini ditandai dengan diakomodasinya hak-hak debitor, misalnya debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk dirinya sendiri, dan ketentuan-ketentuan tentang restrukturisasi utang-utang debitor. Melihat sejarah kepailitan tersebut, dapat dikatakan hukum kepailitan Indonesia termasuk ke dalam tahapan hukum kepailitan modern.rnBerbagai asas-asas umum hukum kepailitan diuraikan dalam buku ini yang sebagian besar belum diakomodasi dalam Undang-Undang Kepailitan Indonesia meskipun sudah dua kali diamandemen. Misalnya asas mendorong investasi dan bisnis; asas memberikan manfaat dan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor; asas putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap debitor yang masih solven; dan asas persetujuan putusan pailit harus disetujui oleh para kreditor mayoritas. Penyajian informasi ini tentunya sangat berguna sebagai referensi bagi perkembangan hukum kepailitan Indonesia.rnPerbandingan isi Faillisementsverordening, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibahas secara mendalam, baik yang menyangkut substansi maupun prosedur (hukum acara), disertai dengan perbandingan pengaturan terutama dengan hukum kepailitan Amerika Serikat dan Inggris. Uraian bermula dari syarat-syarat kepailitan; pengertian utang, kreditor dan debitor dalam kepailitan; pihak-pihak pemohon pailit; hukum acara kepailitan; akibat-akibat hukum kepailitan; penundaan kewajiban pembayaran utang; dan sebagainya, yang diakhiri dengan uraian tentang ketentuan pidana dalam kepailitan.rnPemaparan hukum kepailitan dalam praktek dalam buku ini dilakukan dengan menuturkan putusan-putusan pengadilan, baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung terutama putusan-putusan pengadilan pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Pembahasan putusan-putusan dalam buku ini sangat menarik, karena dikaitkan dengan teori serta konsep yang berkembang dalam putusan-putusan pengadilan tersebut, sehingga dinamika pemikiran para hakim hukum kepailitan secara gamblang tergambarkan dalam buku ini. Contohnya, meskipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 belum mengakomodasi asas perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor, majelis hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan Nomor 024PK/N/1999 dalam Ssangyong Engineering & Construction v. PT Citra Jimbaran Indah Hotel Co. Ltd., telah menciptakan hukum dengan mempertimbangkan “…kepailitan penerapannya harus dilakukan/diselesaikan secara adil dalam arti memperhatikan kepentingan perusahaan sebagai debitor atau kepentingan kreditor secara seimbang.”rnSebagai masukan bagi penyempurnaan buku ini barangkali dapat dikemukakan hal-hal berikut ini. Pertama, untuk beberapa hal meskipun uraian buku ini telah sangat lengkap dan komprehensif, namun pembahasan masih terasa kurang dikaitkan dengan asas-asas hukum perdata maupun hukum acara perdata Indonesia. Bagaimanapun juga memahami hukum kepailitan, tanpa memahami asas-asas hukum perdata masihlah kurang lengkap. Misalnya, bagaimana penerapan pembuktian sederhana terhadap utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih? Apakah setiap utang debitor yang jatuh tempo selalu dapat ditagih? Buku ini akan menjadi semakin lengkap bila memberikan beberapa contoh putusan Pengadilan yang menolak dalil keadaan memaksa karena pembuktiannya tidak sederhana. Dasar argumentasi untuk menjawab permasalahan tersebut tentunya berkaitan erat dengan hukum perdata.rnKedua, putusan-putusan pengadilan yang dikaji dalam buku masih terkonsentrasi terhadap putusan-putusan pengadilan pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Padahal selama 5 tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 banyak terdapat putusan yang menarik untuk dikaji, karena putusan-putusan ini sarat dengan argumentasi hukum. Misalnya dalam Lina Sugiharti Otto v. PT Bank International Tbk. (dalam likuidasi), Putusan Mahkamah Agung Nomor 029/K/N/2006. Isu utama dalam kasus ini adalah apakah bank dalam likuidasi dapat diajukan pailit oleh nasabah kreditor perseorangan? Uraian masalah ini dapat dimasukkan sebagai bagian dari Bab 5 yaitu pihak-pihak pemohon pailit.rnKetiga, perbandingan hukum dalam buku ini merupakan keunggulan sekaligus kelemahan. Unggul, karena perbandingan hukum kepailitan Indonesia dengan hukum kepailitan Amerika Serikat dan Inggris membuka wacana terhadap masalah-masalah yang belum diatur maupun telah diatur tetapi belum sempurna dalam hukum kepailitan Indonesia. Lemah, karena buku ini belum atau masih kurang dalam membandingkan dengan hukum kepailitan di negara-negara civil law, misalnya di Belanda. Tidak dapat dihapuskan bahwa hukum kepailitan Indonesia berakar dari hukum kepailitan Belanda. Saat ini hukum kepailitan Belanda telah berkembang dengan pesat, misalnya hukum kepailitan Belanda telah memisahkan hukum kepailitan untuk perusahaan dan konsumen, dengan berlakunya Debt Restructuring Act for Private Individuals pada 1998.rnKeempat, sebagai buku refensi, barangkali akan lebih baik bila penulisan sumber kutipan dalam buku ini berupa catatan kaki (footnote), sebagaimana buku pertama yang terbit tahun 2002. Bagi peminat masalah hukum kepailitan, hal ini penting artinya untuk melakukan penelusuran lebih lanjut sumber-sumber kajian dalam buku ini.rnTerlepas dari kekurangan tersebut, kehadiran buku ini sangat berguna dan membuka cakrawala kajian hukum kepailitan di Indonesia, serta dapat dijadikan alat analisis dalam melihat hukum kepailitan di Indonesia. Akhirnya, buku ini sangat bermanfaat bagi kalangan yang mempunyai minat di bidang hukum dan masalah kepailitan.rn
B00941 | 346.078 SJA h | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain